Subhanallah, Inilah Mukjizat Alquran tentang Klorofil
Klorofil atau pigmen hijau tak hanya berfungsi sebagai zat pewarna hijau pada daun. Klorofil juga memainkan peranan penting dalam proses fotosintesis.
Para ahli tumbuh-tumbuhan menemukan bahwa klorofil merupakan produsen tunggal di muka bumi yang memproduksi makanan.
Fotosintesis merupakan suatu proses biokimia anabolisme, pembentukan zat makanan atau energi yaitu glukosa yang dilakukan tumbuhan, alga, dan beberapa jenis bakteri dengan menggunakan zat hara, karbondioksida, dan air serta dibutuhkan bantuan energi cahaya matahari.
Hampir semua makhluk hidup bergantung dari energi yang dihasilkan dalam fotosintesis. Akibatnya, fotosintesis menjadi sangat penting bagi kehidupan di bumi. Fotosintesis juga berjasa menghasilkan sebagian besar oksigen yang terdapat di atmosfer bumi.
Jauh sebelum para ahli tumbuh-tumbuhan menemukan zat bernama klorofil, 1.400 tahun yang lalu kitab suci Alquran telah menyebut pentingnya zat warna hijau. Simak surah Al-An’am [6]: ayat 99:
“Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai dan kebun-kebun anggur…”
Ayat itu menegaskan bahwa pigmen hijau — yang merupakan bagian dari struktur tumbuhan yang “Kami tumbuhkan dengannya segala macam tumbuh-tumbuhan” — merupakan zat hijau daun yang biasa dikenal dengan sebutan klorofil, yang terdapat pada salah satu sel tumbuhan kloroplas.
“Ana khairun minhu”, saya lebih baik dari dia. Itulah kalimat iblis ketika Tuhan menanyakan alasan mengapa ia tidak mau melaksanakan perintah, sujud kepada Adam. Iblis menambahkan, “Khalaqtani min nar wa khalaqtahu min tin”, Engkau menciptakan aku dari api dan menciptakan dia (hanya) dari tanah. (QS al-A’raf 12). Itulah kesombongan iblis, merasa diri lebih mulia karena asal kejadian.
Kesombongan Iblis
“Ana khairun minhu”, saya lebih baik dari dia. Itulah kalimat iblis ketika Tuhan menanyakan alasan mengapa ia tidak mau melaksanakan perintah, sujud kepada Adam. Iblis menambahkan, “Khalaqtani min nar wa khalaqtahu min tin”, Engkau menciptakan aku dari api dan menciptakan dia (hanya) dari tanah. (QS al-A’raf 12). Itulah kesombongan iblis, merasa diri lebih mulia karena asal kejadian.
Kesombongan iblis rupanya adalah sebuah penyakit yang juga bisa menular kepada manusia. Bahkan, iblis secara aktif menularkannya kepada anak cucu Adam. Pernyataan dan sikap ana khairun minhu sekarang bahkan lebih banyak digunakan oleh manusia.
Jika iblis merasa diri lebih baik karena asal penciptaannya, manusia juga tertular kesombongan karena keturunan seperti itu. Itu sebabnya Nabi Muhammad SAW mengingatkan kita dengan sabda beliau, “Semua kalian berasal dari Adam dan Adam (diciptakan) dari tanah. Tidak ada kelebihan orang Arab dari yang bukan Arab, kecuali karena takwa.”
Sabda Nabi tersebut hendak menyadarkan kita agar tidak menjadi angkuh karena keturunan. Kemuliaan hanya bisa dicapai dengan takwa. “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS al-Hujurat:13).
Lebih mencengangkan lagi, ternyata manusia mengembangkan prinsip ana khairun minhu hampir dalam semua lapangan kehidupan. Dengan prinsip itu, manusia kemudian saling bersaing tidak sehat, lalu saling membenci, saling bermusuhan, saling menjatuhkan, bahkan ada yang sampai saling membunuh.
Ketika manusia memperebutkan sebuah jabatan, misalnya, masing-masing menggunakan jurus ana khairun minhu itu. Berbagai teknik digunakan untuk memengaruhi opini orang bahwa dialah yang lebih baik. Oleh karena itu, dia lebih layak untuk dipilih. Baliho, spanduk, brosur, stiker, iklan, dan berbagai macam teknik komunikasi massa digunakan untuk menyatakan ana khairun minhu, saya lebih baik dari dia.
Sebenarnya, untuk meraih prestasi, manusia boleh saja, bahkan dianjurkan untuk menjadi yang terbaik, menjadi the best. Manusia harus menunjukkan prestasi terbaik atau produk kerja terbaik. Tapi, berusaha menjadi yang terbaik tidak sama dengan merasa yang paling baik. Yang pertama adalah sebuah upaya positif, yang kedua adalah sebuah kesombongan.
Lebih berbahaya lagi ketika kesombongan ana khairun minhu itu digunakan oleh seorang penguasa. Ia tidak akan suka dikritik. Ia selalu ingin dipuja-puja. Ia memfasilitasi hidupnya dengan berbagai kemewahan. Ia tidak mau melihat ada orang lain yang lebih unggul yang bisa menggantikan kedudukannya. Ia lalu menggunakan berbagai cara dan muslihat untuk mempertahankan
Demikian sedikit gambaran betapa kesombongan iblis telah merasuki manusia sehingga menggerus nilai-nilai kemanusiaan. Dampak negatifnya bisa semakin meluas dan merusak jika tidak segera disadari. Karena itu, kita harus sadar dan menyelamatkan diri dari proses dehumanisasi akibat penyakit iblis tersebut. Wallahu a’lam
Mukjizat sebenarnya adalah Al Quran
Bentangan sejarah Islam yang dibangun para nabi dan rasul Allah menunjukkan perkembangan yang signifikan. Berbagai keunggulan dan mukjizat para nabi itu mempertegas pesan ketauhidan yang mereka bawa pada kaumnya.
Guru besar sejarah kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Dr Muhammad Machasin, menyebutkan, mukjizat bukanlah esensi dari bukti kebenaran Islam. Menurutnya, mukjizat yang sesungguhnya adalah kitab yang diturunkan pada nabi akhir zaman, Muhammad SAW. Terkait hal itu, wartawan Republika, Devi Anggraini Oktavika, mewawancarainya belum lama ini. Berikut petikannya.
Apakah yang membedakan dakwah para nabi terdahulu dengan dakwah nabi yang diutus setelahnya?
Tidak ada yang berbeda. Mereka membawa pesan dan ajaran yang sama, yakni ketauhidan, bahwa tidak ada Tuhan yang layak disembah kecuali Allah. Selain itu, mereka hanya dibedakan oleh tempat pengutusan dan kaum yang mereka dakwahi. Jika ingin menggarisbawahi perbedaan, yang perlu kita bandingkan bu kan nabi terdahulu dan nabi-nabi pada masa sesudahnya. Perbedaan yang sesungguhnya terlihat antara nabi-nabi terdahulu dan nabi yang diutus paling akhir, yakni Muhammad SAW.
Perbedaan apa itu?
Jika para nabi sebelum Muhammad hanya menyeru kaumnya pada Tuhan Yang Esa (Allah), Rasulullah SAW dihadapkan pula pada persoalan kemanusiaan yang mendalam. Saat itu, orang Arab terdiri atas dua strata; kaum pedagang yang kaya dan golongan hamba sahaya yang menjadi budak orang-orang kaya itu. Dari ayat-ayat Alquran kita ketahui bahwa Rasulullah berjuang memperbaiki falsafah hidup masyarakat saat itu; bahwa hidup adalah juga untuk kehidupan setelah kema tian dan hidup tidak saja untuk diri sendiri, tetapi juga untuk umat. Ajaran yang dibawa Rasulullah menyempurnakan ajaran-ajaran yang dibawa nabi-nabi yang diutus sebelumnya. Selain itu, beliau diutus bukan untuk kaum tertentu, melain kan untuk seluruh umat manusia. Itu perbedaannya.
Jika masyarakat pada masa itu tidak meyakini adanya kehidupan setelah kematian, mengapa mereka menuhankan berhala dan menyembahnya?
Mereka memang menyembah berhala-berhala, tetapi bukan sebagai wujud penyerahan diri pada kekuatan di atas diri mereka. Seperti orang pergi ke dukun pada masa sekarang, orang-orang pada masa itu mendatangi berhala untuk kepentingan mereka sendiri.
Seiring perjalanan sejarah, peradaban manusia terus mengalami perkembangan. Apakah itu berpengaruh pada proses dakwah para nabi?
Menurut saya, peradaban tidak banyak memengaruhi dakwah para nabi. Justru, dakwah Islamlah yang kemudian melahirkan peradaban yang tinggi. Banyak dari peninggalan peradaban itu yang dapat kita temukan. Perlu diketahui juga bahwa tidak semua pendukung Islam pada masa-masa itu beragama Islam.
Bangsa-bangsa di wilayah Persia dan Romawi Timur, misalnya. Mereka menjadi pendukung Islam setelah bertemu dengan dakwah Islam, tetapi mereka tetap pada agama mereka.
Salah satu contoh yang paling pokok adalah peraturan semacam undang- undang syariah. Peraturan itu kan diberlakukan bagi semua masyarakat, tidak terkecuali mereka yang bukan penganut ajaran para nabi itu. Menurut saya, itu sekaligus menjadi bukti kreativitas Muslim dalam membangun kehidupan dan peradaban
Bagaimana dengan politik?
Sama saja. Terlibat dalam politik atau tidak, tugas pokok para nabi adalah untuk menyeru pada ketau hid an. Jika kita sedang menyimpulkan pengaruh politik bagi dakwah dengan melihat peran politis nabi sebagai pemimpin, kita perlu mempertimbangkannya dengan fakta lainnya.
Rasulullah berdakwah selama 23 tahun. Selama 13 tahun pertama, beliau berdakwah menyebarkan Islam sebagai penyempurna agama-agama sebelumnya. Beliau tidak menggunakan politik selain untuk berperang. Baru selama 10 tahun terakhir, Rasulullah berdakwah sambil berpolitik. Itu dikarenakan status beliau sebagai kepala negara, pemimpin, dan pemimpin umat.
Memang, kemudian sejarah menyebutkan bahwa dalam 10 tahun itu orang-orang masuk Islam secara berduyun-duyun. Hanya, apakah itu dikarenakan keberhasilan dakwah Rasulullah atau kewibawaan beliau sebagai pemimpin, itu belum bisa diketahui secara pasti. Perlu pene litian untuk menyimpulkannya.
Selain hal-hal yang dapat dibuktikan secara empiris, seperti peradaban dan sistem politik, para nabi dikaruniai mukjizat. Apa sesungguhnya pengertian dari mukjizat itu?
Jika dilihat dari asal katanya, yakni ‘ajaba, kata mukjizat berarti hal-hal yang membuat orang tidak dapat menyangkalnya. Merujuk pada pengertian ini, maka mukjizat yang sesungguhnya adalah Alquran, kitab yang diturunkan kepada Nabi Mu hammad SAW.
Namun, kemudian mukjizat juga dimaknai sebagai hal-hal yang luar biasa, yang tidak masuk akal. Seperti air yang memancar dari sela-sela jari, tongkat yang berubah menjadi ular, lautan yang terbelah, dan lain sebagainya. Semua mukjizat sebelum periode Nabi Muhammad tidak mudah dibuktikan.
Dari situ saya berpandangan bah wa mukjizat-mukjizat itu merupakan pesan-pesan simbolis yang tidak untuk diterima secara harfiah. Bukan mukji zatnya yang penting, melainkan pesan dan nilai yang terkandung di balik semua kisah-kisah luar biasa itu. Surah al-Isra’ ayat 90-93 menegaskan hal itu bahwa hanya argumen yang tidak terbantahkan (Alquran)-lah yang membuat orang-orang menerima Islam.